Sabtu, 20/04/2024 16:39 WIB

Pelarangan Kantong Kresek Dinilai Tidak Tepat Sasaran

Kebijakan pelarangan penggunaan kantong belanja plastik atau kresek yang dilakukan oleh sejumlah kepada daerah dinilai tidak tepat sasaran

Kantong plastik mengapung di lokasi penyelaman Samandag Cevlik Akcay di lepas pantai Samandag, dekat perbatasan Turki - Suriah, di Provinsi Hatay Turki, 06 Desember 2018. / Foto VCG

Jakarta, Jurnas.com – Wakil Ketua Umum Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia Plastik Indonesia (ADUPI) Justin Wiganda mengatakan, kebijakan pelarangan penggunaan kantong belanja plastik atau kresek yang dilakukan oleh sejumlah kepada daerah dinilai tidak tepat sasaran.  Pasalnya, kantong kresek itu jumlahnya di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah hanya sekitar 6 persenan dari total sampah yang ada.  Sayangnya lagi, yang dilihat itu hanya kantong kreseknya saja, sementara apa yang ada di dalam kantong kresek itu diabaikan.

 “Kantong-kantong kresek yang ditemukan di tempat-tempat pembuangan sampah itu semua ada isinya. Kantong kreseknya sendiri hanya sebagai bungkusnya saja. Jadi aneh kalau yang dimasalahkan itu hanya bungkusnya saja, sementara sampah-sampah yang ada di dalam kantong kresek itu tidak dipermasalahkan seperti misalnya ada sachet-sachet dan bungkus-bungkus mie instan yang jelas-jelas tidak bisa didaur ulang,” ujar Justin Wiganda.

Padahal menurut Justin, kantong kresek itu jumlahnya hanya sekitar 6 persenan dari total sampah yang ada di TPA. “Jadi yang salah yang enam persen itu, sedang yang 94 persennya tidak salah,” ucapnya.

Hingga kini tercatat sudah ada  7 kepala daerah yang mengeluarkan Perda terkait pelarangan kantong plastik sekali pakai. Di antaranya Jakarta, Bekasi, Bogor, Bali, Semarang, Banjarmasin, Balikpapan. Hal ini bila dibiarkan oleh pemerintah akan terbangun persepsi yang salah dalam penanganan sampah plastik di Indonesia.

Menurut Justin, yang perlu dibenahi pemerintah daerah itu sebetulnya masalah manajemen sampah.  Hal itu bisa dilihat dari masih banyaknya masyarakat yang membuang sampah sembarangan dan tidak melakukan pemilahan sampah di rumah. “Jadi masalah sampah itu bukan terjadi karena produknya, namun perilaku pemakainya,” tukas Justin.

Dia mencontohkan keberadaan sampah plastik di laut dan sungai-sungai. “Sampah-sampah itu ada di sana kan karena ada orang yang membuangnya ke sana. Kan nggak mungkin sampah-sampah itu bisa jalan sendiri. Itu harusnya yang dicari tahu oleh pemerintah, kenapa. Apa karena iseng doang, atau memang karena nggak ada tempat pembuangannya. Kok yang langsung disalahkan kantong plastiknya?” kata Justin.

Dia melihat manajemen sampah di Indonesia itu belum diterapkan dengan benar. Seharusnya pemilahan sampah itu dimulai dari sejak sampah itu terbentuk. “Kalau ini benar-benar dilaksanakan, maka tidak ada yang salah dari produk plastik. Kalau yang ada sekarang kan sebagian kepala daerah itu hanya menyalahkan produknya saja tanpa melihat perilaku masyarakat terhadap sampah,” ujarnya.

Menurut Justin, senjata saja itu baru akan berbahaya kalau dipakai orang yang salah. “Nah, sekarang banyak orang yang tidak mengerti permasalahan, semua nyalahinya  kantong kresek.  Padahal kantong kresek itu hanya bagian kecil. Jadi melihatnya harus yang benar, orang buang sampah sembarangan kok yang disalahi produknya.  Padahal selama digunakan orang dengan baik, plastik ini pasti bermanfaat. Apalagi harganya paling murah dibanding wadah belanja lainnya. Jadi larangan ini tidak memberikan solusi atau memberikan benefit yang lebih baik terhadap permasalahan sampah,” tandanya.

Selain itu, Justin juga tidak sepakat jika dikatakan kantong kresek itu produk single use atau sekali pakai. Kalau sekali pakai, kata Justin, artinya di TPA itu kantong kresek  tidak dipakai sebagai bungkusan sampah. “Ibu-ibu rumah tangga juga kan sering menyimpan kantong kresek. Karena apa? Kantong kresek itu bisa digunakan lagi untuk bungkus sampah atau bungkus yang lain,” ucapnya.

Dia juga mempertanyakan kantong plastik ramah lingkungan sebagai pengganti kantong kresek itu nantinya. “Apa iya benar ramah lingkungan? Contohnya di Uni Eropa yang sudah menggunakan kantong plastik yang mudah terurai oxo degradable, tapi nyatanya tetap saja menghasilkan mikroplastik yang berbahaya. Bahkan Uni Eropa telah melarangnya. Uniited Nation Environment Assembly juga telah memutuskan bahwa itu bahan berbahaya dan beracun," kata Justin.

Ketua Ikatan Pemulung Indonesia (IPI), Pris Polly Lengkong, menjelaskan dengan adanya pelarangan penggunaan kantong kresek itu, sampah-sampah plastik jenis HDPE (High Density Polyethylene) seperti naso (botol susu berwarna putih susu, kotak plastik makanan), mainan (botol shampo, porselin), botol oli, dan jerigen, tidak bisa lagi didaur ulang.  Karena menurut Pris Polly, hasil daur ulang sampah plastik jenis HDPE ini, 70 persennya berupa kantong kresek. "Cuma 30 persen saja hasil daur ulangnya yang bisa diolah kembali dalam bentuk botol jenis HDPE," ujarnya.

Jadi, kata Pris Polly,  kalau larangan penggunaan plastik kantong kresek diberlakukan, limbah sampah HDPE malah akan semakin menumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah, sungai-sungai, dan mencemari lingkungan. "Karena kalau tidak bisa lagi didaur ulang, sampah-sampahnya mau dibuang kemana?" tukasnya.

Menurut Pris, kalau didaur ulang, sampah-plastik itu satu sama lain punya ikatan batin. Artinya, sampah-sampah plastik jenis naso,  mainan, dan botol oli itu harus balik ke kantong kresek. "Nah, kalau kantong kresek dilarang, sampahnya mau dibuat apa? Karena cuma bisa dipakai 30 persen untuk jadi botol lagi. Yang 70 persennya mau dikemanakan," tegasnya.

Sementara, Pris menuturkan bahwa sampah plastik jenis HDPE ini paling banyak di masyarakat ketimbang botol air kemasan PET. Hal itu terlihat jenis plastik HDPE ini lebih dominan ada di pelapak-pelapak ketimbang jenis plastik lain. "Dengan botol PET saja perbandingannya satu banding tiga meskipun botol PET harganya lebih mahal dan sirkular ekonominya lebih bagus. Tapi di masyarakat itu kan yang lebih sering detemui oleh pemulung itu adalah sampah plastik jenis HDPE ini," tuturnya. 

Saat ini sampah plastik telah membuka peluang kerja bagi 4 juta pemulung. Selain itu bank-bank sampah, dan komunitas pengelola sampah plastik juga terus bermunculan. Ini menandakan adanya manfaat ekonomi dari sampah plastik. Hal inilah yang seharusnya lebih digencarkan oleh pemerintah untuk membangun budaya memilah sampah sejak dari rumah. Karenanya baik IPI dan ADUPI mempertanyakan kebijakan pelarangan yang bila dibiarkan akan menimbulkan persoalan baru yaitu menumpuknya sampah plastik HDPE, pada akhirnya juga menutup lapangan kerja bagi pemulung yang sejatinya adalah para pahlawan lingkungan

 

 

KEYWORD :

Kantong Kresek Kelompok Adupi Justin Wiganda




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :