Sabtu, 20/04/2024 01:54 WIB

Pinjaman Online, Bahayakah?

pinjol ibarat dua mata pisau dimana satu sisi menjadi solusi, namun di sisi lain juga merugikan masyarakat.

acara Focus Group Discussion yang diselenggarakan Indopos.co.id bertema "Mendewasakan Bangsa, Dewasa Dalam Menyikapi Pinjaman Online" di Hotel Ibis Jakarta, Senin (27/01).

Jakarta, Jurnas.com - Platform Financial Technology (Fintech) atau peminjaman online (Pinjol) menjadi salah satu solusi yang diminati masyarakat di era digital kala menghadapi masalah keuangan.

Meski terkadang jadi solusi, namun fintech atau pinjol di sisi lain juga menjadi masalah bagi masyarakat, lantaran banyak laporan efek-efek negatif yang dirasakan masyarakat saat melakukan pinjol, terutama ketika tak mampu melunasi pinjaman.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menilai, Pinjol ibarat dua mata pisau dimana satu sisi menjadi solusi, namun di sisi lain juga merugikan masyarakat. Hal itu menurut Tulus, karena Pinjol lahir di tengah masyarakat yang belum dewasa, di mana tingkat literasi digital sangat kurang bahkan sangat rendah.

"Selain itu, kebijakan pengawasan dan dukungan infrastruktur yang belum memadai sehingga banyak hal negatif-negatif yang ditimbulkan," kata Tulus dalam acara Focus Group Discussion yang diselenggarakan Indopos.co.id bertema "Mendewasakan Bangsa, Dewasa Dalam Menyikapi Pinjaman Online" di Hotel Ibis Jakarta, Senin (27/01).

Menurut Tulus, permasalahan paling tinggi dalam pinjaman online yang dilaporkan konsumen adalah cara penagihan. Yakni mencapai 39,5 persen. Kemudian, pengalihan kontak 14,5 persen, permohonan reschedule 14,5 persen, suku bunga 13,5 persen serta administrasi 11,4 persen dan penagihan pihak ke-3.

"Permasalahan pinjaman online, paling tinggi adalah cara penagihan. Rata-rata penagihan lewat teror, melalui WA. Saya pernah didatangi lender ke YLKI, dia bilang sengaja menagih dengan cara itu, ketimbang datang. Biaya nagih secara langsung lebih mahal," ujarnya.

Tulus mengatakan, permasalahan pinjaman online setelah penagihan dengan teror adalah pengalihan kontak. Lender dapat membaca semua transaksi HP dan foto, sehingga data tersebut dapat dijadikan bisnis oleh oknum-oknum fintech ilegal.

"Intinya di sini ada data pribadi. Perlindungan data pribadi masih rendah. Ini anomali ke tiga. Kita belum mempunyai Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Sehingga pelaku usaha seenaknya saja.Yang legal juga bermain dua kaki," bebernya.

Tulus menambahkan, untuk perlu dilakukan pengawasan yang maksimal terkait pinjaman online. Tidak hanya OJK dan kepolisian. Namun juga lembaga lainnya.

"Sebab tidak mungkin kita hanya menyalahkan konsumen saja. Kami mendorong Undang-Undang Perlindungan Data pribadi, memang sedang proses. Ini dalam konteks perlindungan konsumen," paparnya.

Selain itu, Ia juga menyarankan kepada masyarakat untuk terlebih dahulu membaca syarat dan ketentuan yang ditetapkan suatu platform pinjol agar tak ada penyesalan di kemudian hari.

"Literasi digital masyarakat harus ditingkatkan, paling tidak sebelum melakukan transaksi pinjol harus memahami secara seksama syarat dan ketentuan platform tersebut," pesannya.

Senada dengan Tulus, Deputi Direktur Pengaturan, Penelitian dan Pengembangan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Munawar Kasan mengakui, saat ini perkembangan industri fintech dan pinjol.

Dalam catatan OJK, ada sekitar 164 perusahaan yang bermain di industri pinjol; 139 terdaftar, Berizin (25),152 konvensional, dan 12 syariah. Total pinjaman yang telah disalurkan melalui fintech telah mencapai Rp81,5 trilliun.

Menurut Munawar, tujuan Fintech sebenarnya sangat bermanfaat bagi masyarakat, lantaran pinjol bertujuan membantu pihak-pihak yang ingin meminjam uang secara cepat dengan prosedur yang tergolong mudah dibandingkan ketika meminjam uang dengan cara konvensional.

Namun Munawar menyayangkan industri pinjol dirusak oleh pinjol-pinjol ilegal, yang kemudian meresahkan konsumen karena ada di antaranya yang mengancam dengan kata-kata kasar bahkan dengan cara-cara yang tidak manusiawi, seperti mengancam akan membagikan data-data pribadi sang peminjam.

"Keberadaan fintech yang pada dasarnya membantu pihak-pihak yang ingin meminjam uang secara cepat, namun dirusak dan diganggu oleh fintech ilegal," katanya.

Untuk itu, Munawar pun menyarankan jika ada konsumen yang diganggu oleh fintech ilegal untuk segara melapor ke OJK. Pasalnya, OJK telah menyoapkan sanksi tegas terhadap fintech ilegal.

"Laporkan ke saya, bisa dengan melampirkan screenshoot ancamannya, karena kami sangat tegas terhadap fintech ilegal. Sanksi untuk pihak-pihak yang berkata kasar terhadap konsumen bisa dihapus. Kami serahkan ke Satgas Fintech Ilegal," tegasnya.

Sementara itu, Ketua Harian Asosiasi Fintech Lending Indonesia (AFLI) Kuseryansyah berpesan kepada masyarakat untuk menghindari bertransaksi dengan Fintech-fintech ilegal.

Ia menyarankan konsumen untuk menggunakan fintech legal yang telah terdaftar di OJK dan AFPI, yang telah jelas prosedurnya.

"Harus pilih Fintech yang terdaftar di OJK. Selain itu, harus menggunakan prinsip bahwa pinjaman itu adalah kewajiban mencicil tidak lebih dari 30 persen dari penghasilan, serta pinjaman itu harus yang untuk produktif," pesannya.

KEYWORD :

Pinjaman Online Otoritas Jasa Keuangan Focus Group Discussion




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :