Sabtu, 20/04/2024 10:37 WIB

Potret Perempuan Dayak Belajar Menulis dan Membaca

Perempuan sekira usia 42 tahun tanpa sungkan, maju ke depan satu ruangan. Tinggi tubuhnya sekira 157 sentimeter. Rambutnya ala Marilyn Monroe dengan kenakan daster kutung.

Warga belajar program Keaksaraan Dasar Komunitas Adat Terpencil (KD-KAT) di Kampung Bengkuang, Bengkayang, Kalimantan Barat (Foto: Muti/Jurnas)

Jakarta, Jurnas.com - Perempuan sekira usia 42 tahun tanpa sungkan, maju ke depan satu ruangan. Tinggi tubuhnya sekira 157 sentimeter. Rambutnya ala Marilyn Monroe dengan kenakan daster kutung.

Setiba di depan papan tulis hitam terbuat dari bilah kayu durian yang tertempel di dinding, wanita itu berdiri terdiam. Ujung jari kanannya masih memutar sisa kapur tulis yang berukuran kurang dari tiga sentimeter.

Pelan-pelan dia menulis satu persatu huruf. S-A-W-A-H. Dia amati huruf satu persatu. Bibirnya terlihat komat-kamit seakan melafalkan huruf itu diam-diam.

Sementara, dia tidak sadar, kapur tulis yang dijepit jarinya  tergerus saat menulis huruf tadi. Wajahnya tetap masih terlihat serius. Sekali waktu, dia mengeja es a sa we a ha sawah, untuk meyakinkan diri.

“Yakin sudah benar, Bu?” tanya saya.

“Yakin, pak!” tutur wanita itu.  Seruangan bertepuk tangan. Wanita itu tersenyum.

Oh, dia adalah Indriani. Perempuan asli Suku Dayak Bakati, yang mendiami Kampung Bengkuang, Desa Karya Bakti, Kecamatan Sungai Betung, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat (Kalbar).

Indriani bersama 20 perempuan paruh baya lainnya di Kampung Bengkuang, merupakan peserta program pembelajaran Keaksaraan Dasar Komunitas Adat Terpencil (KD-KAT), di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Bawang’Ng Raya.

Indriani memang sudah tidak muda lagi. Dia memiliki lima orang anak. Tapi usia tak membuat perempuan yang saban hari bekerja sebagai petani itu gengsi untuk kembali belajar membaca dan menghitung.

“Anak saya heran kenapa mamaknya sekolah lagi. Tapi mereka tetap mendukung, suami juga mendukung, biar pemikiran tidak kaku,” kata Indri kepada Jurnas.com.

Tulisan dan angka bukan hal yang asing bagi Indriani. Dia beruntung pernah mengeyam pendidikan sekolah dasar (SD), walau akhirnya terpaksa berhenti di tengah jalan saat duduk di kelas lima pada 1990 silam. Walhasil, kini dia harus belajar dari nol.

“Memang sudah lupa pelajaran membaca dan menulis, karena kan sudah 19 tahun. Makanya di sini diajari lagi baca ABC,” ujar Indriani.

Dua kali seminggu selama dua bulan terakhir, Indriani belajar keaksaraan. Tapi, perjuangannya tidak mudah. Sebagai petani, Indriani harus berladang mulai dari jam delapan pagi hingga pukul 12 siang.

Sepulang mencari nafkah, dia baru bisa mempersiapkan diri untuk menuju lokasi pembelajaran yang bertempat di SD Negeri 11 Bengkuang.

“Masuk sekolahnya kadang jam tiga, tergantung tutornya. Selesainya jam lima kadang jam empat,” kata dia.

Usai mewawancarai Indriani, saya beralih kepada perempuan berkaus merah. Namanya Supia. Usianya 33 tahun. Perempuan berpostur gemuk dengan rambut lurus terikat ke belakang ini tampak tegang saat disodori rekaman.

Saya meminta dia untuk tetap rileks layaknya sedang mengobrol dengan seorang teman. Lagi pula, ini bukan ujian akhir, kata saya. Supia menurut, raut ketegangan di wajahnya mereda.

Seperti halnya Indriani, Supia juga telah mengikuti pembelajaran keaksaraan dasar sejak Agustus lalu. Namun perempuan 33 tahun itu enggan diminta menuliskan sebuah kata di papan tulis.

“Saya menyebutkan abjad dan angka saja,” pinta Supia malu-malu. Saya mengiyakan.

Supia menuturkan, sebelum mengeyam keaksaraan dasar, dia tidak pernah makan bangku sekolah sejak lahir, akibat faktor ekonomi orang tuanya. Lagi pula, dulu anak-anak seusianya harus keluar masuk hutan untuk tiba di sekolah dengan berjalan kaki sejauh 10 kilometer.

“Dulu di kampung ini tidak ada SD. Kalau mau ke SD harus jalan keluar masuk hutan. Orang tua jak tak mampu menyekolahkan,” tutur Supia dengan logat Bakatinya yang kental.

Sebab tak pernah belajar membaca dan berhitung, Supia pucat pasi ketika diminta tutor menyebutkan satu per satu abjad dalam pertemuan pertama. Dia hanya bisa menggeleng, karena tak satupun huruf abjad itu pernah kecantol di otaknya.

Tapi kini, dia bangga memamerkan kemampuannya melafalkan abjad A-Z serta menjawab sejumlah soal hitungan sederhana.

“Sekarang juga sudah bisa pakai uang kalau misalnya belanja ke warung pakai Rp50.000-an,” kata Supia.

Indriani dan Supia hanyalah dua contoh dari puluhan perempuan Suku Dayak Bakati di Kampung Bengkuang, yang masuk dalam kategori buta aksara. Bagaimana tidak, untuk mengakses kampung yang berada persis di bawah kaki Gunung Pandan itu tidak mudah.

Dari jalan utama yang menghubungkan Bengkayang-Singkawang, saya dan rombongan harus menembus hutan, sawah, dan ladang secara bergantian dengan menunggangi kendaraan roda dua.

Bahkan selama 45 menit perjalanan, kontur medan berbukit-bukit menyuguhkan trek tanah becek dan berbatu sejauh 6-7 kilometer.

Kondisi infrastruktur jalan juga diperburuk dengan minimnya penerangan. Sejak Indonesia merdeka, Kampung Bengkuang belum pernah merasakan saluran listrik PLN.

Hanya ada Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di bagian belakang kampung, yang mampu menerangi Bengkuang selama lima jam sehari, mulai dari jam tujuh petang hingga tengah malam.

“Apalagi kalau mendung, listrik mungkin hanya dua jam sehari,” ungkap tutor PKBM Bawang’Ng Raya, Ade Erna.

Tapi keterbatasan itu tidak membuat para perempuan Bengkuang patah arang. Dengan kesibukan utama sebagai petani karet, jagung, dan sayur, mereka tetap antusias mengikuti program KD-KAT.

“Mereka langsung buat kesepakatan untuk menyisihkan waktu. Jadilah pembelajaran dilakukan dua kali seminggu, di hari Rabu dan Minggu mulai pukul tiga sore,” jelas dia.

Kondisi buta aksara di Bengkuang menjadi gambaran umum komunitas adat terpencil di Bengkayang, menurut keterangan Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Bengkayang, Gustian Adiwinata.

Namun pemerintah setempat hanya menganggarkan Rp300 juta dari total anggaran pendidikan sebesar Rp60 miliar, untuk pembangunan PAUD dan sekolah mini, termasuk dalam hal ini pendidikan keaksaraan.

Padahal bila merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) per Oktober 2018, jumlah penduduk di kabupaten yang masuk dalam kategori 3T (tertinggal, terluar, terdepan) itu mencapai 247.084 jiwa, dengan luas wilayah mencapai 5.396,3 kilometer persegi.

“Rp50 miliar anggaran pendidikan habis untuk menggaji guru kontrak dan PNS, termasuk juga guru honorer. Karena kami kabupaten pemekaran, butuh banyak tenaga pendidik honorer,” terang Gustian.

Karenanya, Gustian meminta perhatian pemerintah pusat agar membantu Bengkayang yang berbatasan langsung dengan Sarawak, Malaysia, menggenjot sektor pendidikan di kabupaten tersebut.

“Masih kurang ada kepedulian dari pusat. Menganjurkan tapi kurang dukungannya. KAT ini harus ada perhatian khusus, 74 tahun Indonesia merdeka, tapi mereka masih terbelakang,” tandas dia.

Angka Buta Aksara Tinggal 1,93 Persen

Secara umum, jumlah penduduk Indonesia yang mengalami buta aksara menunjukkan tren penurunan. Menurut data BPS 2018, angka buta aksara menjadi 3,29 juta orang atau 1,93 persen dari total populasi penduduk.

Adapun dalam data BPS tahun sebelumnya, jumlah penduduk Indonesia buta aksara tercatat sebanyak 3,4 juta orang atau 2,07 persen.

Kendati sudah mengalami penurunan, enam provinsi belum bergerak dari zona merah. Zona merah ialah kawasan yang persentase buta aksaranya masih berada di atas 4 persen.

Keenam provinsi tersebut ialah Papua (22,88 persen), Sulawesi Selatan (4,63 persen), Sulawesi Barat (4,64 persen), Nusa Tenggara Barat (7,51 persen), Nusa Tenggara Timur (5,24 persen), dan Kalimantan Barat (4,21 persen).

“Tahun ini kami memang sudah mengubah kebijakan dalam rangka percepatan pemberantasan buta aksara. Kami fokus ke zona merah untuk keaksaraan dasar. Kami ingin ubah warnanya, karena enam provinsi ini butuh dukungan,” kata Direktur Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan, Direktorat Jenderal PAUD Dikmas, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Abdul Kahar, di Jakarta, pada 29 Agustus 2019 lalu.

Kahar optimistis sisa buta aksara sebesar 1,93 persen dapat dituntaskan oleh pemerintah. Namun dia juga menambahkan bahwa angka 1,93 persen merupakan prestasi yang luar biasa.

“Dalam artian, bahwa yang 1,93 persen tadi itu profilnya sudah jelas, yakni kemiskinan, wilayah timur, desa terpencil, perempuan, dan usia di atas 45 tahun,” terang Kahar.

Sementara Ketua PKBM Bawang’Ng Raya, Herime Anto mengatakan, pihaknya menerima Rp60 juta dari Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan Kemdikbud, guna menjalankan program KD-KAT di Suku Dayak Bakati.

Jumlah tersebut dia alokasikan untuk 50 warga belajar, untuk memenuhi keperluan alat tulis serta pendukung pembelajaran, selama 114 jam tatap muka.

“Saya ini berasal dari Dayak Bakati. Saya punya tugas moral sebagai pribadi untuk mengembangkan suku saya. Bukan primordial, tapi memang karena melihat situasi kekurangan dari masyarakat kami yang terjadi selama ini,” kata Heri.

Suku Dayak Bakati merupakan satu dari dua suku yang mendapatkan Bantuan Operasional Penyelenggaraan (BOP) KD-KAT dari pemerintah di Kalimantan Barat. Selain Dayak Bakati, suku lainnya yang menerima bantuan ini ialah Suku Dayak Benyadu`, dengan jumlah warga belajar masing-masing sebanyak 50 orang.

KEYWORD :

Belajar Menulis Perempuan Dayak Bakati Rara Keaksaraan Dasar




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :