Sabtu, 20/04/2024 06:57 WIB

Larangan Ekspor Bijih Nikel Dikebut, Ada Apa?

Pengusaha nikel mengaku sangat terpukul dengan kebijakan pemerintah yang memajukan larangan ekspor atau bijih nikel dari seharusnya 1 Januari 2020 menjadi 28 Oktober 2019.

Biji nikel (Foto: Liputan6)

Jakarta, Jurnas.com  – Keputusan mempercepat larangan ekspor bijih nikel diambil berdasarkan kesepakatan bersama, bukan atas dasar surat dari negara ataupun kementerian teknis.

Larangan ekspor bijih nikel per tanggal 1 Januari 2020 berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) nomor 11 tahun 2019.

"Ini dilakukan asosiasi nikel dan perusahaan nikel serta pemerintah dan lahir atas kajian mendalam di mana kita semua cinta negara dan sayang negara," tegas Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia di Jakarta.

Bahli menegaskan bahwa  pelarangan ekspor bijih nikel ini agar negara menjadi berdaulat dalam pengelolaan hasil bumi untuk memberikan nilai tambah.

Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, Indonesia menguasai 27 persen pasokan nikel dunia dengan produksi produk hulu bijih nikel sebesar 50 juta ton dan produk hilirnya 907 ribu ton.

Akan tetapi, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengatakan kebijakan tersebut justru menimbulkan ketidakpastian dan membuat pengusaha mengalami kerugian besar.

Saat ini banyak perusahaan yang sudah membayar vessel, bayar tongkang, tambah alat berat, dan tambah area baru yang akhirnya tidak terpakai. Bisa dibayangkan berapa besar kerugiannya," ujar Meidy kepada Anadolu Agency, Selasa.

Ia mengatakan perusahaan-perusahaan nikel saat ini sudah tidak mampu lagi menangis dengan kembali mengalami keterpurukkan akibat kebijakan ini.

Oleh karena itu, Meidy mengatakan APNI menekankan enam poin terkait kesepakatan tersebut. Pertama, menekankan agar harga jual ore di dalam negeri harus sesuai harga patokan mineral (HPM) terhitung sejak tanggal 1 November 2019.

"Kemudian, batasan kadar biji harus seperti ekspor yang berkadar rendah maksimal 1,7 persen," tegasnya.

Poin selanjutnya menurut Meidy, adalah proses pengiriman ore harus menggunakan 2 surveyor untuk pelabuhan muat dan bongkar. Jika terjadi perbedaan kadar, harus menghadirkan surveyor ketiga yang disepakati bersama.

Pemerintah harus memberikan sanksi yang tegas terhadap smelter atau IUP yang tidak mengikuti HPM yang dikeluarkan oleh pemerintah," pinta dia.

Meidy menambahkan bahwa APNI menunggu kepastian hukum serta aturan regulasi yang mengatur tata niaga nikel domestik. "APNI menjadi mata dan saksi di lapangan untuk ikut memantau perdagangan nikel biji nikel," kata Meidy.

KEYWORD :

Biji Nikel Larangan Ekspor Bahlil Lahadalia




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :