Jum'at, 19/04/2024 03:38 WIB

Awas, Informasi Kanker Anak di Medsos Bahayakan Pasien

Sumber informasi di media online yang sebagian besar diproduksi para jurnalis pun tak jarang kurang menghiraukan risiko informasi yang dipublikasikan.

Ilustrasi media sosial

Jakarta, Jurnas.com - Kanker merupakan penyebab tertinggi kematian pada anak di dunia. Berdasarkan data sejak 2010 sampai 2014, kejadian kanker di RS Kanker Dharmais terus meningkat.

Kendati demikian, pasien yang datang ke RS Kanker Dharmais hanya 14,3 persen yang memiliki stadium awal, sisanya stadium lanjut. Hal tersebut berkebalikan dengan di luar negeri, di mana kesadaran masyarakat tentang kanker sudah tinggi. Demikian diungkapkan Kepala Litbang RSKD dr Mururul Aisyi SpA(K).

Untuk tumor padat, lanjut Aisyi, pasien yang paling banyak datang ke RS Kanker Dharmais sudah berada pada stadium 4 (61 persen). Sedangkan keberhasilan pengobatan kanker sangat bergantung dari stadium.

Lebih lanjut dokter spesialis onkologi anak itu menjelaskan keberhasilan pengobatan kanker lainnya ditentukan dari kesiapan pasien dan keluarganya mengikuti anjuran pengobatan medis.

Penolakan pengobatan pada kanker anak yang berpotensi dapat disembuhkan menimbulkan banyak diskusi dan debat.

The International Society of Pediatric Oncology mendefinisikan penolakan sebagai keputusan untuk menghindari pilihan pengobatan yang direkomendasikan, salah satu faktornya adalah kurangnya saling pengertian antara pasien atau keluarga dan tenaga medis profesional.

“Faktor lainnya adalah karena pengaruh informasi yang beredar luas di media sosial. Sekitar 7 dari 10 pengguna internet dewasa di Inggris dan Amerika mencari informasi kesehatan online setiap tahunnya. Informasi seperti penyakit kronis, self-diagnosis, resep diagnosis baru, ketidakpuasan terhadap penyedia layanan kesehatan, dan pencarian terkait saran gaya hidup paling banyak dicari,” ujar dr Aisyi kepada Jurnas.com, pada Kamis (5/9).

Sumber informasi di media online yang sebagian besar diproduksi para jurnalis pun tak jarang kurang menghiraukan risiko informasi yang dipublikasikan. Bahkan tak jarang media online lebih mengedepankan faktor keuntungan daripada konten.

Penekanan yang berlebihan terhadap keuntungan informasi kesehatan online ini tentunya dapat menyebabkan ekspektasi publik menjadi tidak realistis, bahkan berpotensi bahaya jika berdampak pada  perilaku individu atau sekelompok orang, ketika mendapatkan informasi yang menyesatkan tanpa adanya diskusi dengan tenaga profesional kesehatan.

Menurut penelitian yang dilakukan We Are Social, perusahaan media asal Inggris yang bekerja sama dengan Hootsuite, rata-rata orang Indonesia di tahun 2018  menghabiskan tiga jam 26 menit sehari untuk mengakses media sosial.

Sementara platforms media sosial yang paling aktif digunakan masyarakat Indonesia adalah  Youtube (88 persen), Whatsapp (83 persen), Facebook (81 persen) dan Instagram (80 persen).

Media sosial dinilai merupakan media penting untuk mencari informasi kesehatan. Jika informasinya salah, tambah dr Aisyi, maka akan berbahaya.

“Karena kecenderungan pengguna media sosial dapat dengan mudah mengubah perilaku mereka dengan mempraktekkan pengobatan sendiri hanya dengan membaca atau melihat postingan pada media sosial. Apalagi, jika informasi pengobatan tersebut adalah seputar penyakit kronis. Jika media sosial tidak menyediakan informasi tepat dan akurat tentu dapat menyesatkan penggunanya,” lanjutnya.

Lebih Lanjut,  Aisyi menyebut interpretasi pesan dalam media sosial kadang sulit untuk langsung dimengerti, membingungkan, dan tidak sepenuhnya dapat dipahami.

“Ketiga Hal itu dapat menyebabkan pengambilan keputusan pengobatan tidak berdasarkan atas metode ilmiah yang pada akhirnya malah akan merugikan pasien sendiri,” pungkas dr Aisyi.

KEYWORD :

Kanker Anak Media Sosial




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :