Rabu, 24/04/2024 05:25 WIB

Navigasi Kunci Pengambilalihan Ruang Udara Natuna

Edy menuturkan, sejak 1946, wilayah udara Indonesia di atas Kepulauan Riau dikendalikan oleh Singapura. Wilayah ini disebut Sektor A dan B. Sektor A digunakan untuk pesawat sipil, sementara Sektor B digunakan untuk latihan pesawat Militer.

Ilustrasi ruang udara (foto: UPI)

Jakarta – Pengamat keamanan dan kebijakan luar negeri Edy Prasetyono menilai teknologi navigasi merupakan kunci pengusaan Flight Information Region (FIR), atau ruang udara Kepulauan Natuna dari Singapura. Termasuk dalam hal ini radar, Sistem ATC, dan Sistem ATFM.

“Singapura itu teknologi navigasinya sudah level 9, sementara kita di level 7”, tutur Edy pada Kamis (13/12) di Jakarta.

“Jadi selain diplomasi, kita juga perlu meng-upgrade diri kita. Karena ini kan juga tentang kepercayaan ICAO terhadap kemampuan kita dalam memberikan jaminan air safety,” imbuhnya.

Edy menuturkan, sejak 1946, wilayah udara Indonesia di atas Kepulauan Riau dikendalikan oleh Singapura. Wilayah ini disebut Sektor A dan B. Sektor A digunakan untuk pesawat sipil, sementara Sektor B digunakan untuk latihan pesawat Militer.

Adapun sebagian wilayah udara RI yang berada di dekat Pontianak, dikendalikan oleh Malaysia dan diberi kode sektor C.

Proses ini, lanjut Edy, dampak keputusan ICAO Regional Meeting pada 1993, di mana saat itu Indonesia belum memiliki Radar. Sebaliknya, Singapura dan Malaysia telah memiliki Radar.

Hal inilah yang membuat Indonesia didesak oleh ICAO untuk mendelegasikan sebagian wilayah udaranya ke Singapura, yang ditandatangani pada 1995 oleh menteri perhubungan kedua negara.

Sementara Marsekal (Pur) Chappy Hakim menyebut terkait pengembalian FIR ini sudah diamanahkan dalam UU Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan, pasal 458. Dikatakan, pengembalian wilayah udara Indonesia sudah harus dilakukan selambanya 15 tahun sejak Undang-Undang ini diberlakukan, atau selambat-lambatnya tahun 2024.

Namun demikian, Presiden Joko Widodo sudah menginstruksikan untuk diambil alih selambatnya tahun 2019, dan itu sudah tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan nomor 55 point E tentang Program Kerja Pengambil-alihan Pelayanan Navigasi Penerbangan, di mana direncanakan akan dilakukan shadow-operation antara Indonesia dan Singapura sepanjang 2017-2018, sebelum nantinya diambil-alih secara penuh oleh Indonesia pada tahun 2019.

Namun sayang, kata Chappy, program ini tidak berjalan sesuai rencana. Airnav Indonesia sebagai institusi yang diberi tanggung-jawab untuk menyiapkan Teknologi dan SDM, dinilai belum siap.

Beberapa rencana investasi pada perum ini juga tidak dapat dijalankan dengan berbagai alasan. Serapan investasi pada tahun 2018 ini juga jauh di bawah target.

“Kuncinya di Airnav, karena dia yang tahu Teknologinya, dia yang tahu kebutuhan SDM-nya. Kalau Kemenhub itu hanya soal regulasi yang bisa dibuat dalam satu minggu. Tapi kalau teknologi dan SDM, itu perlu waktu,” tegas Chappy.

KEYWORD :

Ruang Udara Kepulauan Natuna Edy Prasetyono




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :