Sabtu, 20/04/2024 03:39 WIB

Opini

Pelajaran PMP Comeback, Penting Ga Sih?

Perlu diwaspadai kurikulum pendidikan dari tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi berpotensi mengalami disorientasi terhadap ajaran-ajaran toleransi yang sudah termaktub di dalam Pancasila,—yang berkembang justru ajaran-ajaran fundamentalisme yang mengerikan. 

Imam Muhlis

Oleh: Imam Muhlis

(Penulis Buku; Ijtihad Kebangsaan Soekarno dan NU, dan Alumnus Magister Ilmu Hukum UGM)

Generasi millenial bisa jadi tidak tahu apa itu PMP. Berbeda dengan orang yang makan sekolahan di era 70 dan 80-an pasti tahu karena kurikulum PMP (Pendidikan Moral Pancasila) menjadi salah satu mata pelajaran wajib dari SD/MI hingga Perguruan Tinggi.

Setelah Orde Baru tumbang dan berganti ke era reformasi, pelajaran PMP masuk museum. Bahkan aktivis reformasi “malu-malu atau pura-pura lupa” terhadap Pancasila karena takut dituduh tidak reformis. Ada semacam keengganan, ogah dan alergi untuk mengikutkan kata-kata Pancasila. Penanaman nilai-nilai Pancasila berakhir bersamaan dengan tumbangnya Orde Baru, dan berganti nama yang kita kenal sekarang ini, yaitu Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn),—kemudian sesuai dengan UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 berubah lagi menjadi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).

Setelah sekian lama terkubur, kini muncul wacana untuk menghidupkan kembali mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Wacana yang dihembuskan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ini sudah barang tentu menuai pro-kontra. Ada yang mempertanyakan apa bedanyan dengan kurikulum PKn yang saat ini sedang diajarkan di sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi. Ada pula yang setuju bahwa pelajaran PMP agar dihidupkan kembali dengan catatan metode pembelajarannya disesuaikan dengan zaman now. Namun ada juga yeng berpendapat bahwa penanaman nilai-nilai Pancasila memang wajib dilakukan sejak dini, tetapi tidak lagi menggunakan terminologi PMP, mengingat istilah tersebut dianggap rentan kontroversi di tengah-tengah masyarakat.

Secara garis besar, hemat penulis ada kerindungan publik Indonesia terhadap Pancasila, yang digadang-gadang sebagai senjata ampuh bangsa Indonesia untuk membentuk moral masyarakat yang mumpuni di tengah ancaman dua kutub ekstrim; ideologi liberalisme dan radikalisme. Bangsa yang dikenal paling majemuk di dunia dengan tradisi budayanya yang penuh toleransi, ramah, religius, dan menjunjung tinggi nila-nilai kesopanan, tiba-tiba berubah menjadi bangsa yang beringas, intoleran bahkan tidak segan-segan melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti aksi terorisme dan berbagai bentuk tindakan kekerasan lainnya.

Yuridis-Historis PMP, PPKn dan PKn

Pada mulanya, sebutan civics itu pertama kali diinisiasi oleh Presiden Sukarno pada tahun 1957, meskipun istilah tersebut secara formal tidak ditemukan dalam kurikulum tahun 1957. Tetapi secara materiil dalam kurikulum SMP dan SMA terdapat mata pelajaran tata negara dan tata hukum, (MS. Kaelan, dkk, 2017). Kemudian pada tahun 1961, mata pelajaran civics digunakan untuk memberi pengertian tentang Pidato Kenegaraan Presiden Sukarno ditambah Pancasila, sejarah pergerakan nasional dan hak serta kewajiban warga negara, (Abd. Rahman dan Baso Madiong, 2017).

Sementara istilah civics dalam kurikulum tahun 1968 dan 1969 memiliki materi berbeda-beda di tiap jenjang pendidikan. Untuk tingkat SD namanya adalah “Pendidikan Kewarganegaraan” yang mempelajari sejarah dan geografi Indonesia, di tingkat SMP berisi sejarah Indonesia dan Konstitusi, baru pada tingkat SMA materinya ditambah terutama yang berkait dengan UUD 1945. Menurut Somantri, kurikulum Pendidikan Kewargaan Negara yang berlaku saat itu membahas dan menekankan pada seputar kenegaraan, patriotisme, nasionalisme, agama, etika dan kebudayaan, (Somantri, 2001).

Memasuki tahun 1975, mata pelajaran civics/Kewargaan Negara mengalami perubahan pada saat kurikulum 1975 diberlakukan dan kemudian berganti nama menjadi mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Pada saat yang hampir bersamaan muncul Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 yang kemudian ditindaklanjuti oleh Pemerintah dengan membentuk suatu Lembaga Pemerintah Non Departemen yang disebut “Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau BP-7” dengan surat Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1979. Materi PMP ini menurut Winataputra lebih berorientasi pada value inculcation dengan muatan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, (Winataputra dan Budimansyah, 2007).

Seiring berjalannya waktu, pergantian kurikulum 1975 ke kurikulum 1994 secara otomatis PMP berubah menjadi PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) atas dasar keputusan tersirat di dalam UU No. 2 Tahun 1989. Dalam UU ini terutama Pasal 39 ayat (2), bahwa mata pelajaran Pendidikan Pancasila; Pendidikan Kewarganegaraan wajib dimuat sebagai isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan. Menurut Abdul Azis Wahab, secara substansial  baik  PMP maupun  PPKn tidak ada perubahan yang signifikan dan hanya berganti casing. Tujuannya lebih  menekankan  pada pembangunan   manusia   Indonesia   seutuhnya,   manusia   pembangunan   dengan   dijiwai Pancasila dan UUD 1945, (Abdul  Azis  Wahab, 2007). Mata pelajaran PPKn ini masih terus berlanjut hingga ditetapkannya UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 yang kemudian menjadi kurikulum PKn hingga saat ini.

Pada tingkat Perguruan Tinggi ditambah lagi dengan adanya Surat Edaran dari kemenristekdikti Nomor: 03/M/SE/VIII/2017 tentang Penguatan Pendidikan Pancasila dan Mata Kuliah Wajib Umum Pada Pendidikan Tinggi yang di dalamnya mewajibkan perguruan tinggi untuk mengintegrasikan dan menginternalisasikan muatan nilai Pancasila, moral kebangsaan serta budaya nasional sebagai bagian dari bela negara.

Radikalisasi Pancasila

Di tengah karut-marut wajah bangsa saat ini, terutama merosotnya moral generasi muda, radikalisme, hoaks dan permasalahan lainnya yang bertentangan dengan norma Pancasila sebagai dasar negara menjadi alasan untuk mengaktifkan kembali pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila). Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, PMP dinilai efektif dalam pembentukan karakter anak bangsa. Sementara PKn (Pendidikan Kewarganegaraan) lebih menekankan pada kognitif atau pengetahuan. Jika keduanya disatukan, menurut Kemendikbud justru terjadi masalah karena keduanya berbeda, (tribunnews.com, 3/12/2018).

Kini publik Indonesia berharap bahwa Pancasila dapat benar-benar berfungsi dalam menopang kehidupan berbangsa dan bernegara, baik diletakkan dalam perspektif legal-formal, maupun dalam konteks nation and character building yang berperan mencerahkan (enlighten) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kuntowijoyo (2001), misalnya, memberikan pemahaman baru yang dinamakan radikalisasi Pancasila, dalam arti revolusi gagasan untuk menjadikan Pancasila lebih tegar, efektif dan menjadi petunjuk bagaimana semestinya negara dijalankan dengan benar. Dalam pandangan Yudi Latif (2011), proses radikalisasi ini dimaksudkan untuk membuat Pancasila menjadi lebih operasional dalam kehidupan dan ketatanegaraan, sanggup memenuhi kebutuhan praktis atau pragmatis dan bersifat fungsional. Yudi Latif berpandangan bahwa Pancasila harus menjadi petunjuk bagaimana negara ini ditata-kelola dengan benar, serta dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Karena itu, penting ga sih menghidupkan kembali PMP? Hemat penulis sangat penting dengan catatan pembelajarannya tidak lagi bersifat ceramah-ceramah, hafalan bagi siswa, tetapi harus juga bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ini perlu diperhatikan agar para generasi muda memiliki wawasan kebangsaan dan nasionalisme yang tinggi sehingga dapat fokus membangun bangsa dan tidak mudah terjerat oleh paham radikalisme, hoaks dan permasalahan lain yang bertentangan dengan norma Pancasila. Perlu diwaspadai kurikulum pendidikan dari tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi berpotensi mengalami disorientasi terhadap ajaran-ajaran toleransi yang sudah termaktub di dalam Pancasila,—yang berkembang justru ajaran-ajaran fundamentalisme yang mengerikan. Semoga!

KEYWORD :

PMP Kurikulum




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :