Rabu, 24/04/2024 00:38 WIB

Mendag Enggartiasto Diminta Diaudit

Sebelumnya impor beras diputuskan hanya 1 juta ton, tetapi kemudian diputuskan lagi tambahan impor 1 juta ton..

Stok beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) menjelang puasa dan lebaran 2018 di DKI Jakarta aman (Foto: Humastani)

Jakarta - Kondisi perberasan kembali menjadi topik hangat diperbincangkan dalam negeri, menyusul kebijakan Menteri Perdagangan (Mendag), Enggartiasto Lukita mengimpor beras 2 juta ton.

Sebelumnya impor beras diputuskan hanya 1 juta ton, tetapi kemudian diputuskan lagi tambahan impor 1 juta ton. Jadi total keseluruhan impor beras per 2018 ini sebanyak 2 juta ton.

Kebijakan impor ini tentu mengerutkan dahi, pasalnya produksi beras dalam negeri melimpah. Beberapa peneliti mengusulkan untuk mengkaji kondisi perberasan dalam negeri secara komprehensif.

Salah satunya adalah, Peneliti Pusat Studi Bencana, Institut Pertanian Bogor (IPB) sekaligus Koordinator Nasional Indonesia Food Watch, Pri Menix Dey. Ia menduga kebijakan impor beras bisa saja diputuskan mengingat tahun ini sudah memasuki tahun politik.

"Artinya, diputuskannya impor beras bukan berarti produksi beras dalam negeri tidak meningkat. Jadi perlu diluruskan informasi simpang siur dan menyesatkan dari beberapa pengamat dan praktisi tentang perberasan," tegas Pri Menix di Bogor, Jumat (24/8).

Pria jebolan IPB ini menegaskan fakta kerja keras dan keberhasilan peningkatan produksi beras pada era pemerintahan Jokowi-JK ini patut diapresiasi. Lihat saja, banyak terobosan peningkatan produksi yang telah dilakukan yakni sejak 2015.

Menurutnya, ada 3,2 juta hektare jaringan irigasi yang sudah direhabilitsi, mekanisasi 380 ribu unit alat mesin, subsidi benih dan pupuk, asuransi 1 juta hektare pertahun dan lainnya.

"Hasilnya, kemampuan produksi padi kita sangat kuat. Bukti pertama, saat 2015 terjadi El-Nino terbesar 2.95 dejarat C SST, dengan berbagai program pompanisasi, sumur dangkal, hujan buatan dan tanam di rawa lebak, telah mampu berproduksi dan hanya impor 1,5 juta ton beras," terang Pri Menix.

"Coba bandingkan El Nino 2015 itu tertinggi sepanjang sejarah. El-nino tertinggi sebelumnya tahun 1998 sebesar 2,53 derajat C SST, terpaksa tahun 1998-1999 impor beras sangat besar 12,1 juta ton," sambungnya.

Menurut Pri Menix, apabila 2015 tidak ada Program Upaya Khusus peningkatan produksi padi, dengan penduduk 2015 sebesar 255 juta jiwa dan kondisi iklim lebih parah dari 1998 di mana penduduk saat itu 201 juta jiwa, maka dipastikan 2015 akan impor beras 16,8 juta ton dan di dunia ini tidak ada beras sebanyak itu.

"Jangan dilupakan lah, Ini kan bukti prestasi produksi saat iklim paling ekstrim. Masa menilai persoalan beras hanya menggunakan kaca mata kuda, satu arah. Parahnya menurut data sendiri, bukan fakta secara keseluruhan," ucapnya.

Bukti kedua dikatakan Pri Menix, produksi beras lokal kuat. Faktanya, pertambahan jumlah penduduk 2014 hingga 2018 sebanyak 12,8 juta jiwa itu lebih banyak dari jumlah penduduk Singapura. Tambahan penduduk 12,8 juta jiwa butuh tambahan pasokan 1,7 juta ton beras dan terbukti selama ini pasokan cukup dipenuhi dari tambahan produksi petani.

Pri menix menjelaskan bahwa tahun 2016 Indonesia tidak ada impor beras konsumsi, sejatinya beras masuk pada awal 2016 itu merupakan luncuran dari kontrak impor beras Bulog 1, 5 juta ton tahun 2015.

"Kita bisa cek kode HS data BPS untuk beras impor sejak 2016 sampe 2017, terlihat secara terang benderang jenis yang diimpor, berupa gabah untuk benih, beras pecah atau menir dan beras ketan yang merupakan beras khusus. Memang benar 2017 ada impor 305 ribu ton adalah beras menir untuk industri, menir tidak dikonsumsi," bebernya.

Karena itu, Pri Menix menuturkan dua bukti di atas tentu sudah cukup menjelaskan produksi beras 2015 hingga 2018 mencukupi berlebih dan meningkat dari tahun ke tahun, tidak perlu impor.

Indikator pasokan beras cukup juga dapat dilihat dari indikator stock beras di pasar. Data stock beras harian di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) selalu di atas 40 ribu ton, ini 2 hingga 3 kali lipat dibandingkan stock harian 3-4 tahun yang lalu. Artinya beras di pasaran cukup dan aman aman saja.

Demikian pula indikator harga beras baik di tingkat petani dan di eceran tidak ada gejolak berarti. Data trend harga tidak ada yang mengkawatirkan.

Selanjutnya stock beras Bulog per 10 Agustus 2018 sebesar 2,1 juta ton beras dan dipastikan hari ini bertambah lagi dari serap beras petani. Stock Bulog akan bertambah hingga September 2018 seiring dengan serap beras petani 500 ribu ton.

"Ini artinya bila akan ditambah impor 1 juta ton dengan dalih untuk cadangan pemerintah kan ga wajar. Beras impor untuk apa dan mau disimpan dimana? Saat ini pun gudang penuh. Kapasitas gudang efektif paling 2,6 juta ton beras," ungkap Menix.

Jadi, Pri Menix menegaska apabila dipaksakan impor tambahan 1 juta ton lagi, dipastikan mubajir dan ujung-ujungnya akan menekan harga gabah petani sehingga gairah bertani menurun.

Karena itu, kebijakan impor beras ini mesti diaudit. Pasalnya, kebijakan Kementerian Perdagangan (Kemendag) tidak sinergi dan selalu bertolak belakang dengan gerakan Kementerian Perdagangan yang selalu di lapangan menggerakkan tanam padi dan memacu produksi.

"Bila ada beberapa pengamat yang masih memutar-balikkan informasi, tentunya bisa diragukan independensinya dan mudah mudahan bukan merupakan bagian dari mafia beras," tegasnya.

KEYWORD :

Kemendag Enggartiasto Lukita Kementan impor beras




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :