Rabu, 24/04/2024 03:33 WIB

Fenomena Kartini Dulu, Kini, dan Nanti

Dulu, kaum perempuan menjadi hina jika berstatus tidak menikah.

Raden Ajeng Kartini (Foto: Tribun)

Jakarta (21/4) - "Orang mencoba membohongi kami, bahwa tidak kawin itu bukan hanya aib, melainkan dosa besar pula. Telah berulang kali itu dikatakan kepada kami. Aduhai! Dengan menghina sekali orang sering kali membicarakan perempuan yang membujang!"

Demikian sepenggal cerita ini adalah kisah yang diceritakan oleh Raden Ajeng (RA) Kartini dalam suratnya yang diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno. Cerita RA Kartini tentang perempuan di masa lalu menggambarkan kaum perempuan menjadi hina jika berstatus tidak menikah.

Pernikahan menjadi standar seorang perempuan dihargai di masa lampau. Dan sebagai akibatnya, banyak kaum perempuan yang menikah bukan karna kehendak sendiri tetapi justru karena tuntutan budaya.

Kartini berkisah, "kami anak-anak perempuan tidak boleh mempunyai pendapat, kami harus menerima dan menyetujui serta mengamini semua yang dianggap baik oleh orang lain. Bahwa tahu, mengerti, dan menginginkan itu dosa bagi anak perempuan."

Lalu apakah nasib yang di alami kartini dan perempuan di masa lampau masih di alami kaum perempuan di masa kini?

Council of Foreign Relations mencatat bahwa Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh negara dengan angka pernikahan anak tertinggi di dunia. Menempati peringkat ketujuh di dunia, dan tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja.

Berdasarkan riset Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2016 lalu, sebanyak 94,72% perempuan usia 20 – 24 tahun putus sekolah karena berstatus pernah menikah di bawah usia 18 tahun. Sementara yang masih bersekolah hanya 4,38%.

"Perkawinan bukanlah hal yang buruk jika dilakukan di usia yang tepat dengan persiapan yang matang. Perkawinan di usia anak justru akan membawa permasalahan baru bagi kaum perempuan,” kata Menteri PPPA Yohana Yembise, Sabtu (21/4) di Jakarta.

“Mulai dari hilangnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan, resiko ancaman dari penyakit reproduksi seperti kanker serviks, kanker payudara dan juga hidup dalam keretakan keluarga karena ketidaksiapan mental mereka dalam membangun keluarga, sehingga menimbulkan perceraian", imbuhnya.

Menteri Yohana berharap kaum perempuan muda Indonesia mampu menentukan masa depannya dengan mengutamakan pendidikan. Sebab, para perempuan merupakan penerus estafet mimpi-mimpi R.A Kartini untuk memajukan bangsa.

“Kaum perempuan mampu berkarya tidak hanya melulu dengan urusan sumur dapur kasur, tetapi juga di ranah publik. Saya optimis kaum perempuan yang menjadi Kartini masa kini mampu meneruskan mimpi Kartini dimasa yang akan datang," tambah Menteri Yohana.

Dalam rangka memperingati Hari Kartini, Menteri Yohana juga berharap selanjutnya tidak ada pernikahan yang terjadi pada anak perempuan yang belum siap menjalani perkawinan.

"Mari kita setop perkawinan anak, kaum perempuan mampu berdiri di kaki sendiri dan menentukan masa depannya sendiri. Jangan pernah berhenti berkarya kaum perempuan Indonesia," tegasnya.

KEYWORD :

Hari Kartini Perempuan Pemberdayaan




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :