Rabu, 17/04/2024 02:37 WIB

Peringatan Rizal Ramli Agar Sejarah Krisis Finansial Tak Terulang

Nilai batas atas yang aman untuk DSER adalah 15-20%.

(Foto: Ilustrasi)

Jakarta – Kritik ekonom senior Rizal Ramli terhadap utang luar negeri Indonesia, yang ia sebut sudah ”lampu kuning” dan ”gali lubang tutup jurang”, harus dipahami sebagai peringatan agar sejarah krisis finansial 1997-1998 tidak terulang.

”Saat itu, seluruh lembaga pemeringkat juga memberikan predikat investment grade kepada Indonesia. Tetapi krisis finansial yang kemudian terjadi membuktikan, perekonomian Indonesia sebenarnya rapuh,” ujar peneliti dari Lingkar Studi Perjuangan Gede Sandra, dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (11/4).

Menanggapi pembelaan Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti terhadap kritik Rizal Ramli (RR), Gede Sandra mengajak untuk mengkilas balik situasi menjelang krisis finansial 1997-1998. Saat itu, kata Gede, seluruh lembaga pemeringkat memang memberikan investment grade pada Indonesia.

Pada Desember 1997 misalnya, Standard & Poor’s memberikan rating BBB-. Lalu, Moody’s memberikan rating Baa3, dan Fitch memberikan rating BBB- pada Juni 1997.  Tidak hanya itu. Masih pada 1997, lanjut Gede Sandra, seluruh ekonom di lembaga pemerintah, termasuk juga para ekonom asing, meramalkan perekonomian Indonesia akan sehat-sehat saja.

”Hanya ada satu ekonom Indonesia yang kritis terhadap rentannya situasi internal perekonomian Indonesia, dan kemudian ramalannya terbukti benar. Ekonom tersebut adalah Rizal Ramli,” kata dia.

Secara khusus, Gede menyoroti perihal rasio utang yang lebih tepat untuk menggambarkan kondisi Indonesia. Sejak 1990-an, kata dia, rasio utang yang secara internasional digunakan untuk menggambarkan keberlanjutan utang eksternal negara-negara berpendapatan menengah ke bawah adalah debt service to export ratio (DSER). Bukan debt to GDP ratio. Nilai batas atas yang aman untuk DSER adalah 15-20%.

Dalam artikel yang disebar di media, Nufransa Wira Sakti antara lain menyatakan bahwa nilai DSER Indonesia yang disebut RR sebesar 39 persen adalah keliru. Padahal, menurut Gede Sandra, berdasarkan data Bank Dunia, DSER Indonesia benar nilainya 39,6 persen.

"Taruhlah kita memakai data (Nufransa) yang menggunakan data DSR Indonesia dengan rasio 34%. Itu sama saja, tetap jauh di atas batas atas yang diizinkan (15-20%). Sebagai perbandingan, negara-negara tetangga Indonesia di ASEAN memiliki nilai DSER/DSR rata-rata di bawah 10%. Masih sangat aman,” tuturnya.

Gede Sandra juga menyoroti pernyataan kritis RR terkait tingkat bunga (yield) surat utang Indonesia. Kata dia, Indonesia seharusnya dapat menghindari kerugian akibat pemasangan yield yang ketinggian selama ini. Dibandingkan dengan Vietnam yang rating-nya di bawah Indonesia, bahkan belum masuk investment grade, ternyata tingkat yield surat utang Indonesia masih ketinggian 1%. Ini tentu sangat merugikan.

”Terkait itu, RR sudah memberikan solusi agar Menteri Keuangan menukar utang-utang Indonesia yang bunganya ketinggian dengan utang yang bunganya lebih rendah,” kata Gede.

Seperti diketahui, dalam kritik yang merespons pengumuman Bank Indonesia tentang utang luar negeri Indonesia tahun 2017 yang sudah mencapai Rp 4.000 triliun, RR tegas menyebut jumlah utang bangsa ini sudah ”lampu kuning”.

RR juga menyebut upaya yang dilakukan pemerintah tak ubahnya gali lubang tutup jurang. ”Indikatornya, keseimbangan primer (primary balance) negatif. Artinya, sebagian bunga utang dibayar tidak dari pendapatan, melainkan dari utang baru,” ujarnya.

Rizal lalu menunjuk Debt Service Ratio (DSR) terhadap kinerja ekspor, yang ia sebut ikut berkontribusi pada kurang produktifnya utang luar negeri Indonesia. Saat ini DSR Indonesia sudah menyentuh 39 persen. Kemudian, tax ratio baru sebesar 10,4 persen, lebih rendah dari sejumlah negara di ASEAN.

Tax ratio hanya 10 persenan, karena pengelolaan fiskal tidak prudent alias ugal-ugalan,” jelasnya.

Indikator lain adalah trade account, service account, dan current account yang semuanya negatif, di samping faktor US Fed Rate.

"Itulah salah satu alasan utama kenapa kurs rupiah terus anjlok,” urai RR, seraya menyebut klaim Istana yang mengaku telah mengelola makro ekonomi dengan hati-hati, sangat jauh dari fakta lapangan. ”Bokis(bohong) amat,” cetus ekonom yang sempat bergabung di Kabinet Kerja Jokowi sebagai Menko Kemaritiman.

KEYWORD :

rizal ramli utang negara




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :