Sabtu, 20/04/2024 05:17 WIB

Soal Somasi ke Perusahaan Rokok, Ini Pendapat Ekonom

Adanya pengendalian konsumsi rokok lewat penarikan cukai menunjukkan tidak ada unsur paksaan untuk menghisap rokok. 

Ilustrasi rokok

Jakarta -  Somasi yang dilayangkan Rohayani, seorang pecandu rokok, kepada PT Gudang Garam Tbk dan PT Djarum terus menuai komentar negatif. Kali ini, datang dari Direktur Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati. Kata dia, somasi dengan tuntutan ganti rugi mencapai Rp 1 triliun lebih itu salah kaprah dan tidak pada tempatnya.

Ia berdalih, seorang perokok tidak pernah dipaksa untuk merokok oleh produsen. ”Produk rokok itu sendiri termasuk barang yang dikendalikan supaya tidak bebas dikonsumsi. Pengendalian dilakukan lewat cukai yang dikenakan kepada produsen rokok. Di samping itu, ada keharusan mencantumkan peringatan bahaya kesehatan dalam setiap kemasan rokok,” kata Enny di Jakarta, Jumat (16/3/2018).

Enny memandang, adanya pengendalian konsumsi rokok lewat penarikan cukai menunjukkan tidak ada unsur paksaan untuk menghisap rokok. Selain itu, terhadap perokoknya sendiri juga dilakukan pengaturan, antara lain lewat ketentuan menghisap rokok hanya di ruangan tertentu. ”Biaya pengaturan bagi perokok itu diambilkan dari cukai yang dikenakan kepada produsen rokok,” katanya.

Itu sebabnya ekonom yang intens mengikuti isu pertembakauan ini menganggap tindakan Rohayani mensomasi perusahaan rokok tidaklah tepat. Apalagi dengan alasan rokok yang ia hisap selama puluhan tahun telah membuatnya kecanduan serta mengalami penurunan kesehatan dan kualitas hidup.

Menurut Enny Sri Hartati, seorang perokok yang sakit karena terpapar rokok, sementara sudah diperingatkan di luar kemasan tentang bahaya rokok, merupakan kesalahan sendiri. ”Itu risiko dia merokok. Masalah terpapar sakit akibat rokok adalah salah si perokok yang masih mau merokok padahal harga rokok dikenai cukai dan ada peringatan bahaya merokok,” katanya.

Enny menambahkan, karena pemahaman pengirim somasi salah kaprah, ia menyarankan agar masalah ini tidak perlu digaungkan lagi. Bagi dia, masih banyak masalah lain terkait isu tembakau yang lebih penting diperhatikan. Di antaranya, berkenaan dengan pro kontra berkepanjangan terhadap RUU Pertembakauan yang  sudah lama dibahas di DPR.

”Selama ini banyak orang memandang isu tembakau hanya dari satu sisi, misal aspek kesehatan saja. Padahal, ada aspek penerimaan negara dalam bentuk cukai, ada kepentingan industri, ada kepentingan petani tembakau, dan jutaan tenaga kerja yang juga harus diperhatikan,” tuturnya. 

Mengutip rilis yang dikeluarkan Indef akhir Februari lalu, Enny mengatakan, sekarang ini ada kecenderungan melihat industri rokok dalam kaca mata hitam putih. Kelompok anti tembakau menganggap tembakau hanya akan merusak kesehatan, bahkan merusak generasi masa depan. Sementara industri pasti berpikir punya hak hidup karena selama ini tiap tahun menyetor Rp 139 triliun lebih ke negara. Di sisi lain, dengan penerimaan cukai sebesar itu, negara akan berpikir keras agar jangan sampai kehilangan pemasukan.

Mestinya, lanjut Enny, semua kepentingan itu dilihat dalam kerangka jangka panjang, mengacu pada _roadmap_ industri yang disusun pemerintah melalui Kementerian Perindustrian. Yakni, bagaimana menyelaraskan pemasukan negara, industri, tenaga kerja, dan kesehatan. ”Sayangnya, hal ini tidak pernah dibahas serius. Akhirnya, ada kelompok tertentu yang menilai tembakau begitu buruk. Mungkin somasi kepada perusahaan rokok merupakan bagian dari itu,” pungkas Enny.

KEYWORD :

Somasi Perusahaan Pecandu Rokok




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :