Kamis, 25/04/2024 22:29 WIB

Potret Kedamaian di Mesir

Kisah Pernikahan Beda Agama di Mesir

Sejak revolusi 2011, serangan terhadap penganut Kristen di Mesir meningkat. Tercatat ada 54 insiden aksi kekerasan yang menyebabkan kaum minoritas keagamaan menjadi korban.

Akram (tengah) mendatangi warga untuk mengundang acara pernikahannya/BBC.

Tragedi pengeboman dua gereja Koptik yang menewaskan puluhan orang pada 9 April lalu masih menyisakan kesedihan dan trauma bagi kaum minoritas Kristen di Mesir. Namun, di kalangan kelompok etnis Nubian yang hidup di bagian selatan Mesir, umat Muslim dan Kristen hidup berdampingan secara damai. Alangkah indahnya bukan?

"Semua orang selalu menasihati saya untuk menikahi gadis dari komunitas saya. Tapi itu mustahil. Saya tidak bisa jauh darinya," kata Akram seperti dilaporkan wartawan BBC Nicola Kelly dari Kota Aswan, Mesir

Ucapan itu keluar dari mulut Akram beberapa jam sebelum dia menghadiri akad nikah di masjid sebuah desa di bantaran Sungai Nil.

Akad nikah Akram bukan upacara pernikahan biasa. Ia akan mengucapkan ikrarnya sebagai mempelai pria di masjid, sedangkan Sally, sang mempelai perempuan yang beragama Kristen menggelar doa secara pribadi di rumah.

"Kami adalah dua mempelai pertama yang menikah di luar agama kami. Itu sangat sulit, khususnya bagi orang tua saya," kata Akram.

Selama tujuh tahun, Akram dan Saly dilarang bertemu oleh orang tua mereka masing-masing.

Bahkan, anggota komunitas, pemuka agama, dan teman-teman berupaya mencegah mereka berjumpa. Namun, sepasang kekasih itu masih bisa menyiasati cara untuk bersua.

"Kami sepakat menikah pada malam hari sehingga keluarga kami tidak malu," kata Akram. 

Bagi kelompok etnis Nubian, seperti Sally dan Akram, menikah beda agama tidak dilarang, namun tetap tabu.

Karena itu, mereka merayakan pernikahan sendiri-sendiri pada siang hari dan baru bertemu pada malam hari. Pertemuan tersebut akan ditandai dengan tarian.

Akram dan Sally pertama kali bertemu tujuh tahun lalu di Aswan, tempat anak muda berkumpul, mencamil es krim, dan bercanda. Kota itu dapat ditempuh dalam waktu singkat dari desa mereka, Shadeed.

"Dia suka candaan saya. Dan saya selalu menantikan untuk bisa berjumpa dia. Tidak mudah, tapi sekarang kami di sini," kata Akram.

Sejak revolusi 2011, serangan terhadap penganut Kristen di Mesir meningkat. Tercatat ada 54 insiden aksi kekerasan yang menyebabkan kaum minoritas keagamaan menjadi korban.

Insiden-insiden itu mencakup serangan bunuh diri di gereja Koptik menjelang Natal 2016, dan dua pengeboman di dua gereja Koptik pada 9 April lalu yang mengakibatkan 45 orang tewas. Meski begitu, Akram tidak khawatir dengan pernikahannya.

Topik soal perkawinan beda agama telah diangkat berkali-kali setiap dia berbincang dengan kerabat dan tetangganya sekaligus mengundang mereka untuk datang ke pernikahannya.

Ini adalah tradisi kelompok etnis Nubian. Undangan harus disampaikan secara verbal. Jika seseorang menerima undangan pernikahan secara tertulis, dia akan merasa terhina dan tidak akan datang.

"Berbincang dengan tetangga-tetangga, menyanyi, makan, dan menari. Bagi mempelai pria, itu lebih penting daripada bagian keagamaan dari upacara pernikahan," ujar Akram.

Beberapa cangkir kemudian, teman-teman Akram menarik dia menuju masjid untuk acara akad nikah. Selagi melewati kebun mangga, Akram menunjuk ke sebuah gereja yang rusak.

"Beberapa bangunan Kristen di sini diserang orang-orang luar. Namun kami bersatu dan mengusir mereka," ujarnya.

Di suatu sudut dekat masjid, imam Mohamed Sobhy berjalan. Dia adalah seorang cendekiawan Muslim yang dengan bangga memperlihatkan buku-buku koleksinya soal ajaran Islam, Kristen, dan beberapa agama lainnya.

"Kekristenan ada di sini selama lebih dari 800 tahun. Bagi saya, pernikahan beda agama bukan hal besar. Saya ingin orang-orang menrima sesamanya. Umat Muslim dan Kristen, kami bisa hidup secara damai."

 

KEYWORD :

Pernikahan beda agama Mesir bom koptik




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :