Rabu, 17/04/2024 04:24 WIB

Fatwa MUI, PKB: Bagaimana dengan Pakaian Koko?

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) soal larangan memakai atribut non muslim dinilai tidak menyentuh pada pokok persoalan yang substansional.

Anggota Komisi VIII DPR, Maman Imanulhaq

Jakarta - Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) soal larangan memakai atribut non muslim dinilai tidak menyentuh pada pokok persoalan yang substansional. Sebab, atribut atau pakaian itu hanya sekedar budaya.

Demikian disampaikan Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Maman Imanulhaq, kepada Jurnas.com, Jakarta, Senin (19/12).

Kata Maman, sebaiknya MUI mengeluarkan fatwa yang lebih konstruktif dan tidak berkaitan dengan sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu substansional, seperti pelarangan atribut Natal.

"Itu terlihat sekali argumen yang dibangunnya tidak terlalu kuat, kenapa? misalnya pakaian dengan kopiah atau sinterclas itu tidak menunjukkan dia seorang kristen, bahkan diinternal kristen pun terjadi perdebatan," kata Maman.

Jika pelarangan pakaian atribut non muslim itu tidak dijelaskan secara argumentatif, kata Maman, pertanyaan lebih lanjut, bagaimana dengan pakaian koko? Menurutnya, pakaian koko yang dipakai oleh umat Islam itu sesungguhnya tradisi dari China yang tentu dia ateis bahkan komunis.

"Maka bagaimana mungkin fatwa itu muncul, mau tidak mau maka baju koko tidak boleh dipakai," tegas Wakil Ketua Fraksi PKB itu.

Diketahui, MUI mengeluarkan fatwa bahwa atribut keagamaan non muslim haram dipakai oleh seorang muslim. Fatwa Nomor 56 Tahun 2016 ini dikeluarkan pada Rabu (14/12/2016).

"Menggunakan atribut keagamaan nonmuslim adalah haram. Mengajak dan/atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan nonmuslim adalah haram," kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam, saat membacakan fatwa tersebut.

KEYWORD :

Fatwa MUI Atribut Non Muslim Maman Imanulhaq




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :