Sabtu, 20/04/2024 20:48 WIB

Dulu Dipaksa Menikah, Kini Sukses Sebagai Petani Muda

Terlahir sebagai perempuan, desakan untuk menikah ketika menginjak usia remaja menjadi hal yang paling sering didengar setiap hari.

Noni Amilasasi

Jakarta – Hidup di tengah keluarga miskin bukan perkara mudah. Apalagi terlahir sebagai perempuan, desakan untuk menikah di usia remaja hampir setiap hari didengar. Demikian penuturan Noni, seorang petani muda dari tanah Nusa Tenggara Timur (NTT).

Lahir 18 tahun silam, gadis pemilik nama lengkap Noni Amilasasi ini berasal dari Desa Tublopo, Kecamatan Amanuban Barat, Timor Tengah Selatan, NTT. Noni kecil tidak bisa merasakan nikmatnya buaian seorang ibu, sebab ibunda telah tiada semenjak Noni lahir. Begitu juga ayah Noni yang memutuskan untuk menikah lagi dengan perempuan lain.

“Sejak kecil saya tinggal dengan kakek dan nenek yang bekerja serabutan,” Noni menuturkan kisahnya kepada Jurnas.com di sela-sela talkshow ‘Peran Kaum Muda Perempuan dalam Memutus Mata Rantai Kemiskinan di Indonesia’ di Jakarta, Kamis (9/12).

Tinggal bersama kakek dan nenek, Noni sempat merasakan kondisi perekonomian yang mencekik. Kakek Noni bekerja sebagai petani kecil, sedangkan sang nenek bekerja dengan menjual kayu kering yang dihargai Rp2.000 per ikat. Walhasil, sejak masuk bangku SD hingga SMA, Noni harus jatuh bangun setiap bulannya untuk memenuhi biaya sekolah. Sosok laki-laki 66 tahun dan wanita 67 tahun yang mengurusi Noni, tidak selalu mampu memenuhi kebutuhannya.

Selepas SMA, beban yang ditanggung Noni tidak serta-merta usai. Pola-pikir di lingkungannya yang memaksa anak perempuan untuk menikah pada usia muda, juga berimbas kepada gadis yang bercita-cita berkuliah di Jogja ini. Noni sempat dipaksa keluarganya untuk menikah agar dirinya tidak menjadi beban untuk keluarga. “Saya dulu terus dipaksa menikah setelah lulus SMA,” ujar Noni.

Kini cerita paksaan untuk menikah sudah dikubur dalam-dalam. Sejak bergabung dengan program petani muda yang digagas Plan International Indonesia, Noni berhasil mengembangkan kemampuannya di bidang pertanian. Dengan bekal ilmu pertanian organik dan holtikultura, Noni menghabiskan waktunya untuk mengumpulkan modal kuliah.

“Saya tanam sawi, kol, dan kangkung di sana. Masa panennya pun cukup singkat. Di antaranya malah hanya butuh waktu tiga minggu saja,” paparnya.

Jika dulu Noni harus berpikir keras demi mendapatkan biaya sekolah, dengan masa panen lahannya yang cukup singkat, Noni kini mengaku dapat mengantongi 200 hingga 300 ribu setiap dua minggu. Bahkan jika nantinya modal Noni sudah cukup, gadis ini akan melanjutkan studi demi sebuah cita-cita yang tinggi.

“Kelak saya ingin jadi kepala desa perempuan pertama di desa. Saya ingin menanamkan pola pikir bahwa perempuan harus diberi panggung untuk menunjukkan kapasitasnya. Bukan dipaksa menikah sejak muda,” terangnya.

KEYWORD :

Plan International Indonesia Petani muda




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :