Jum'at, 19/04/2024 15:01 WIB

Korupsi Mobil Crane Pelindo II Rugikan Negara Rp37,9 Miliar

Patut diduga pengadaan 10 mobil crane tersebut tak sesuai perencanaan dan terjadi penggelembungan anggaran.

Ilustrasi Korupsi (Istimewa)

Jakarta - Senior Manajer PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II, ‎Haryadi Budi Kuncoro didakwa melakukan korupsi terkait pengadaan 10 unit mobil crane bersama-sama Direktur Operasi dan Teknik PT Pelindo II Ferialdy Noerlan. Akibat ulah keduanya itu, negara dirugikan sebesar Rp 37,9 miliar.

"Kedua terdakwa sebagai orang yang melakukan, turut serta melakukan secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain dan korporasi, serta merugikan keuangan negara. Patut diduga pengadaan 10 mobil crane tersebut tak sesuai perencanaan dan terjadi penggelembungan anggaran," ucap Jaksa penuntut umum TM Pakpahan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (28/11).

Rasuah itu bermula saat Direktur Utama Pelindo II RJ Lino mengusulkan pengadaan mobil crane dengan kapasitas 25 dan 65 ton untuk keperluan cabang Pelindo II pada tahun 2011. Pengadaan mobil crane itu sedianya akan digunakan di Pelindo II sejumlah cabang pelabuhan. Di antaranya pelabuhan Panjang, Palembang, Pontianak, Bengkulu, dan sejumlah cabang lain.

Ferialdy lantas memerintahkan Haryadi yang merupakan adik kandung eks pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bambang Widjojanto (BW) itu membuat kajian investasi dan menghitung harga satu unit mobil crane. Dari hasil kajian terungkap mobil crane tak dibutuhkan hampir di seluruh cabang.

Pun demikian, pengadaan mobil crane tersebut tetap dimasukkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP). Anggaran yang disiapkan terkait pengadaan itu mencapai Rp 58,9 miliar. Namun, dalam usulan tersebut tidak dicantumkan hasil kajian investasi tersebut.

Selanjutnya, usulan tersebut diajukan ke Direktorat Keuangan dengan pengantar nota dinas yang ditandatangani Ferialdy.

Terkait pelaksanaan pengadaan, tim teknis dari PT Pelindo II melakukan rapat penyusunan Rencana Kerja dan Syarat (RKS) selama April-Mei 2011 di Hotel Salak Bogor.

Haryadi dalam penyusunan RKS itu mengarahkan agar spesifikasi mobile crane yang digunakan diproduksi Harbin Construction Machinery Co.Ltd (HCM). Haryadi selain itu mengarahkan agar dalam penyusunan rencana anggaran dan biaya didasarkan pada penawaran 3 perusahaan yaitu, PT Narishi Century International, PT Altrak 1978 dan PT United Tractor.

Lantaran hanya satu perusahaan yang memasukkan penawaran, lelang yang dilaksanakan saat itu gagal. Lalu dilakukan lelang ulang pada 25 November 2011 untuk pengadaan 10 unit mobile crane kapasitas 25 dan 65 ton, untuk kebutuhan cabang pelabuhan Panjang, Palembang, Pontianak, Teluk Bayur, Banten, Bengkulu, Cirebon dan Jambi dengan anggaran Rp 46,2 miliar.

Pada lelang kedua, meski mobile crane dibuat oleh HCM, Guangxi Narishi Century M&E Equipment  (GNCE) kembali mengajukan penawaran, dengan nilai Rp 45, 6 miliar. Perbuatan Haryadi bersama Ferialdy itu dianggap bertentangan dengan Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pasalnya dalam Permen BUMN menyatakan, pengadaan barang dan jasa harus menerapkan prinsip efektif yang sesuai dengan kebutuhan.

"Bahwa dalam tahap evaluasi, Biro Pengadaan dan Tim Teknis atas arahan dari Haryadi, melanjutkan proses pembukaan dokumen evaluasi, dan biro pengadaan secara melawan hukum telah meloloskan PT GNCE meskipun tidak memenuhi syarat," terang jaksa.

Selaku rekanan, PT GNCE  tidak bisa menyerahkan 10 unit mobile crane hingga 5 Desember 2012 dari sejak perjanjian dilakukan. Seharusnya, Haryadi dan Ferialdy membatalkan kontrak lantaran kesepakatan tidak terpenuhi.

Akan tetapi, justru dilakukan amandemen ulang pada 8 Agustus 2013. Isinya yakni mengubah pengiriman mobile crane yang awalnya untuk pelabuhan Panjang, Palembang, Pontianak, Bengkulu, Teluk Bayur, Banten, Cirebon dan Jambi, menjadi cabang pelabuhan Tanjung Priok. Bahkan dilakukan juga pengurangan nilai pekerjaan.

Pada 24 November 2014, GNCE baru menyerahkan 10 unit mobile crane. Penyerahan yang ditandatangani Ferialdy itu tanpa dilakukan commisioning test. Padahal, sebelumnya tertera dalam surat perjanjian.

10 unit mobile crane yang diberikan itu kemudian diperiksa oleh ahli dari empat perguruan tinggi, yakni dari Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Diponegoro, dan Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya. Hasilnya, mobil crane dinilai tidak layak operasi, membahayakan keselamatan dan tidak memenuhi spesifikasi yang disyaratkan. Selain itu, mesin penggerak diesel maupun aksesoris pendukung yang terdapat pada mobile crane diduga bekas pakai.

"Setelah dilakukan pemeriksaan pada tujuh mobil crane tipe QYL65 dan tiga mobil crane tipe QYL25 ternyata tidak layak operasi, karena mengalami kondisi tekuk pada pipa penyusun lengan," ujar Jaksa.

Dari nilai proyek Rp 58,9 miliar, total kerugian negara dalam proyek ini mencapai Rp 37,9 miliar. Atas perbuatan itu, Ferialdy dan Haryadi didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 ayat 1 huruf b atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

KEYWORD :

KPK Korupsi Pelindo II Adik BW




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :